Definition List

LightBlog

Translate

Sabtu, 18 Februari 2012

Semangat Juang Tojo Membela Tanah Airnya Patut Dicontoh


Hideki Tojo (東條 英機 Tōjō Hideki) (30 Desember 1884-23 Desember 1948) adalah jenderal Jepang dan PM ke-40 Jepang (18 Oktober 1941-22 Juli 1944). Tojo ialah anggota klik tentara yang mendorong Jepang dalam perang di akhir 1930-an. Sebagai Menteri Perang pada 1940 ialah penolong dalam kepemimpinan Jepang dalam Blok Axis dengan Jerman Nazi dan Italia. Di antara keputusannya ialah izin persetujuan pemerintah dalam percobaan biologis terhadap para tawanan perang. Mulai 1941, Tojo ialah PM dan menguasai seluruh militer Jepang, yang begitu mendominasi Jepang saat itu yang ia sesungguhnya ialah diktator bangsa. Ia digantikan pada 1944 menyusul serentetan kekalahan tentara Jepang. Setelah perang, ia menembak dirinya sendiri di dada untuk bunuh diri namun gagal. Ia kemudian diadili oleh Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh sebagai penjahat perang. Ia dinyatakan bersalah atas tuduhan 1 (peperangan agresi, dan perang dalam pelanggaran terhadap hukum internasional), tuduhan 27 (mengadakan perang tak beralasan terhadap Tiongkok), tuduhan 29 (peperangan agresif melawan AS), tuduhan 31 (mengadakan perang agresif melawan Persemakmuran Inggris), tuduhan 32 (mengadakan perang agresif melawan Belanda), tuduhan 33 (mengadakan perang agresif melawan Prancis (Indochina)), dan tuduhan 54 (memerintahkan, membenarkan, dan mengizinkan perlakuan tak berperikemanusiaan terhadap penjahat perang dan lainnya). Ia divonis mati pada 12 November 1948, dan menerima hukuman gantung.
Dua bom atom AS atas Hiroshima (6 Agustus 1945) dan Nagasaki (9 Agustus 1945) memaksa Jepang mengaku kalah dan menyerah kepada pasukan Sekutu. Itu yang dilakukan Kaisar Jepang Hirohito. Jenderal Hideki Tojo yang juga menjadi PM Jepang pada Perang Dunia II menolak menyerah dan memilih terus berperang. Bagi Tojo, menyerah tidak ubahnya tindakan pengecut.
Sika pantang menyerah dari jenderal berkepala plontos kelahiran Tokyo, 30 Desember 1884, ini terungkap dari catatan hariannya yang disiarkan pertama kali oleh media Jepang, Selasa (12/8). Catatan harian tulisan tangan Tojo sebanyak 20 halaman ini dibuat pada hari-hari terakhir Perang Dunia II. Catatan ini disimpan Arsip Nasional Jepang.
”Catatan ini memperlihatkan Tojo tetap mempertahankan mental militer hingga saat-sat terakhir,” ujar Kazufumi Takayama, kurator arsip yang memastikan akurasi dari catatan harian Tojo ini. ”Sungguh sangat bernilai,” ujarnya.
Hideki Tojo, putra ketiga dari Letjen Hidenori Tojo, menjabat perdana menteri (1941-1944). Dia dihukum mati pada 23 Desember 1948 oleh pengadilan militer Sekutu karena kejahatan perang. Catatan harian ini memperlihatkan betapa Tojo sangat keras menolak menyerah sekalipun sebagian besar warga Jepang sudah kehilangan asa.
”Kita harus melihat negara ini menyerah kepada musuh tanpa memperlihatkan kekuatan kita hingga 120 persen,” tulis Tojo bertanggal 13 Agustus 1945, dua hari sebelum Jepang menyerah. ”Kita ada pada posisi perdamaian memalukan daripada menyerah memalukan,” ujarnya.
Tojo juga mengecam keras rekan-rekannya, menuduh para pemimpin pemerintah takut oleh ancaman musuh dan dengan mudah menyerah.
Menurut Tojo dalam catatannya, para pemimpin Jepang yang mengusulkan menyerah terutama karena takut dengan ”bom jenis baru” dan kemungkinan Uni Soviet juga terlibat dalam perang.
Tulisan Tojo soal ”bom jenis baru” ini berkaitan dengan bom atom yang dijatuhkan AS di Hiroshima dan Nagasaki, menewaskan sekitar 200.000 orang. Bom ini bisa menimbulkan kehancuran total di seluruh Jepang.
Bambu runcing
Posisi militer Jepang saat itu sudah tersudut, kalah di laut dan darat di banyak tempat. Anak-anak, perempuan, dan orang tua dipersenjatai dengan bambu runcing, mempertahankan tanah air dari invasi musuh.
Catatan Tojo ini sampai ke pemerintahan ketika pembela Tojo, Ichiro Kiyose, menyerahkannya kepada Kementerian Kehakiman. Kementerian lantas menyerahkannya ke Arsip Nasional tahun 1999. Para penyelidik mulai mengamati catatan harian ini sejak tahun lalu.
Catatan harian dengan tulisan tangan ini cocok dengan tulisan tangan Tojo saat dia meringkuk dalam Penjara Sugamo hingga dihukum mati tahun 1948.
Ungkapan pikiran Tojo dalam catatan harian ini memperlihatkan keyakinannya bahwa tepat dan perlu aksi invasi militer Jepang yang brutal ke seluruh wilayah Asia, termasuk hingga ke Indonesia. Dia juga tak menyesal dengan keputusannya menyerang Pearl Harbor, pangkalan militer AS di Hawaii, 7 Desember 1941. Serangan yang melibatkan AS dalam perang.
Pada 10 Agustus, sehari setelah Nagasaki dibom, Tojo menulis bahwa perang perlu untuk menstabilkan Asia Timur dan mempertahankan negara (Jepang). ”Banyak tentara dan rakyat tidak sempat berkorban sampai mati hingga tujuan ini tercapai,” tulisnya.
Catatan harian Tojo ini sepertinya lebih ditujukan kepada dirinya sendiri. ”Saya menerima keputusan menyerah ini dengan diam,” tulisnya. Tojo memutuskan tidak banyak berkomentar sekalipun dia sangat menentang keputusan menyerah.
Pada 14 Agustus, sehari sebelum Jepang mengaku kalah, Tojo menulis surat kepada seorang anggota stafnya dan mengatakan, ”Dia bertanggung jawab moral menyebabkan kematian yang sia-sia sekalipun sebenarnya mereka telah berkorban untuk tujuan yang lebih besar.”
”Saya mohon maaf dengan menawarkan nyawa saya,” tulisnya. Tojo gagal harakiri pada September 1945 sebelum ditangkap. Tojo dikenal sebagai pribadi yang keras dan pengambil keputusan yang cepat. (Reuters/AFP/AP/ppg)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan beri komentar untuk konten ini