Definition List

LightBlog

Translate

Selasa, 22 November 2011

Peraturan Kampus Bertentangan dengan UUD 1945

KAMPUS DAN KEBEBASAN BERPENDAPAT

Oleh : Defri Rahman
(Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UNAND)
Ketika aparatur/pimpinan kampus, memahami kritik (berupa lisan/tulisan) sebagai duri di tengah kondusivitas kampus, maka kampus tersebut sudah kontra ilmiah. Kampus adalah ruang bersama yang mengakomodasi ekspresi kebebasan berpendapat. Mengutip Nugroho Notosusanto, sejak masih menuntut ilmu, mahasiswa Indonesia sudah dituntut memberikan sumbangan pengetahuan dan pertimbangan atas kondisi bangsa. Kampus menyediakan ruang-ruang berpendapat, menyampaikan gagasan, termasuk melontarkan kritik dan autokritik. Kebebasan itu menjadi semangat awal untuk menghargai dan menghormati setiap perbedaan pendapat. Dari dalam kampus, semangat itu dilatih dan dikembangkan.
Keluarnya peraturan Rektor Nomor: 53.a/XII/A/Unand-2011 tentang Tata Tertib Kehidupan Kampus, Pasal 7 ayat (12) peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap mahasiswa dilarang melakukan unjuk rasa, atau demonstrasi serta mengeluarkan pendapat didepan umum di dalam kampus untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan, atau tulisan tanpa pemberitahuan secara tertulis ke universitas, fakultas, jurusan, dan atau bagian terlebih dahulu. Hal ini menurut pendapat saya merupakan sebuah ancaman dalam iklim demokrasi dan menjadi ancaman yang tak main-main.
Pertama, ancaman itu bertolak belakang dengan hak kebebasan berpendapat setiap warga negara yang dilindungi hukum. Dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 disebutkan, setiap elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, berhak melakukan demonstrasi. Selama demonstrasi yang dilakukan tak melanggar hukum, tentu tak ada hak untuk melarang. Larangan dan ancaman hanya akan menjauhkan kritik yang dibawa dalam setiap demonstrasi dari substansi permasalahan. Padahal, sering kritik berdampak positif untuk memperbaiki kebijakan yang dianggap menyimpang.
Kedua, ancaman pencabutan beasiswa dan larangan berkegiatan itu bisa menjadi preseden buruk bagi kehidupan mahasiswa. Berorganisasi adalah sarana bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dari kelas. Organisasi menjadi wahana berlatih mengaktualisasikan diri, termasuk kebebasan mengemukakan ide. Ketika ruang itu dibatasi, bahkan ditutup, tentu yang muncul adalah mahasiswa-mahasiswa egoistis dan individualis. Mahasiswa menjadi tak menghargai perbedaan pendapat, bahkan takut berpendapat karena ancaman selalu menghantui.
Padahal, seperti diungkapkan Ki Hadjar Dewantara, tujuan pendidikan adalah memerdekakan manusia (termasuk mahasiswa) sebagai anggota masyarakat. Dalam pendidikan yang ditegaskan Ki Hadjar, kemerdekaan bersifat tiga macam: berdiri sendiri (zelfstandig), tidak tergantung orang lain (onafhankelijk), serta dapat mengatur diri sendiri (vrijheid, zelfbeschikking). Wajar jika pesimisme mengapung. Dalam kondisi ketika kebebasan berpendapat dibungkam, peran pendidikan sebagai proses pencerdasan kehidupan bangsa dengan nation and chacracter building sangat mungkin terabaikan.
Itu harus menjadi bahan refleksi bersama. Sivitas akademika harus mengembalikan kampus dan membuka ruang lebar bagi kebebasan berpendapat. Pemimpin kampus tak perlu mengancam mahasiswa yang kritis.
Akhir kata, Semoga dengan adanya tulisan ini pimpinan kampus berpikir jernih dan melakukan peninjauan kembali terhadap peraturan yang telah di keluarkan. Kita nantikan realisasinya
 

sumber



Suatu wadah pendidikan yang tidak mencerminkan implementasi dari esensi pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi.
Bagaimana pendapat anda?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan beri komentar untuk konten ini